Jumat, 17 September 2010

pemimpin mata perisainya ketaqwaan

Urgensi Sifat Taqwa Bagi Calon Pemimpin
 
Mimbar Jumat
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali 'Imran ayat 134-135). WASPADA Online

Oleh Drs. Achyar Zein, M.Ag


(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali 'Imran ayat 134-135).

Sifat taqwa selama ini selalu dipahami dalam bentuk yang abstrak, meskipun ada yang mengkonkritkannya namun hanya sebatas penampilan lahiriyah. Padahal pernyataan ayat-ayat al-Quran tentang taqwa lebih mengarah kepada sifat-sifat yang konkrit dan dapat diukur melalui tindakan sehari-hari seperti dermawan, tidak emosional, pemaaf, sadar dan lain-lain. Memahami taqwa dengan segala keabstrakannya akan menggiring kepada penilaian individual yang sarat dengan pengaruh subjektifitas. Penilaian seperti ini berpotensi mengundang kerunyaman karena boleh jadi seseorang dinilai taqwa oleh satu kelompok namun kelompok lain tidak demikian. Oleh karena itu, perlu mengkonkritkan sifat taqwa sebagaimana disebutkan dalam al-Quran.

Mengkonkritkan pengertian taqwa ini semakin urgen ketika sifat ini selalu dijadikan prasyarat dalam memilih seorang pemimpin sekalipun kriteria ini selalu dipahami secara abstrak. Pemahaman abstrak yang dimaksud disini yaitu lebih menjuruskan pengertian taqwa dengan hubungan manusia kepada Allah dan sedikit sekali yang dikaitkan dengan hubungan sesama manusia. Implikasi dari pemahaman yang seperti ini akan membuat nilai-nilai taqwa hanya terbatas kepada penampilan yang bersifat formalistik. Salah satu contoh yang dapat kita lihat ialah adanya usulan agar masing-masing kandidat pemimpin dapat membaca al-Quran dengan baik. Perealisasian sifat taqwa yang seperti ini sama sekali belum menyentuh substansi yang sebenarnya karena pengamalan isi kandungan al-Quran jauh lebih penting dari hanya sekadar pandai membacanya. Sekalipun tidak disebutkan secara gamblang bahwa dapat membaca al-Quran sebagai bentuk dari ketaqwaan, namun kuat dugaan bahwa syarat ini terilhami dari pemahaman taqwa itu sendiri.

Pemahaman yang seperti ini juga pernah terjadi pada masa Rasulullah dimana masing-masing sahabat menyodorkan seperangkat nama yang mereka anggap sudah bertaqwa. Sebagian mereka memahami bahwa orang yang terus-menerus melakukan shalat, puasa dan 'mengebiri' diri untuk tidak menikah dapat diklaim sebagai sosok yang sudah bertaqwa. Hal ini ditampik oleh Rasulullah dengan menunjuk dirinya sendiri sebagai sosok yang paling bertaqwa namun masih memperhatikan hak-hak diri, keluarga dan masyarakatnya. Sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah ini mengajarkan bahwa taqwa tidak hanya berkaitan dengan ibadah ketuhanan akan tetapi berkaitan juga dengan ibadah kemanusiaan. Defenisi taqwa yang selama ini diketengahkan oleh para ulama yaitu "menjunjung perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya" tidak dapat diartikan hanya sebatas ibadah mahdhah, karena berbuat baik kepada sesama manusia termasuk ke dalam kategori perintah Allah dan menyakiti manusia termasuk yang dilarang-Nya.

Sekilas Tentang Taqwa dalam al-Quran

Kaitan taqwa dengan ketuhanan dan kemanusiaan dapat dilihat melalui Q.S. al-Baqarah ayat 3 dan 4. Pada kedua ayat ini disebutkan kata 'iman' kepada yang gaib seperti Allah dan hari akhirat dan juga kepada yang tidak gaib seperti beriman kepada kitab-kitab plus mendirikan shalat. Adapun dimensi hubungan kemanusiaan dapat dilihat melalui kata 'infak' yaitu menyisihkan sebagian rezeki yang sudah diberikan oleh Allah. Secara spesifik alQuran juga memberikan petunjuk tentang kaitan taqwa dengan kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam Q.S. Ali 'Imran ayat 134 dan 135. Pada kedua ayat ini disebutkan ada 4 (empat) kriteria orang-orang yang taqwa yaitu kontiniu dalam berinfak, mampu menahan amarah, pemaaf dan cepat menyadari kekeliruannya.

Agaknya, kriteria taqwa yang disebutkan dalam surat Ali 'Imran ini (dan mungkin juga ayat-ayat yang lain) dapat dijadikan sebagai prasyarat untuk memilih seorang pemimpin karena terkesan lebih konkrit. Kuat dugaan bahwa penyebutan kriteria ini adalah untuk memudahkan penilaian agar pandangan tentang taqwa terkesan lebih membumi dan tidak diartikan secara serampangan. Ketika al-Quran menyebutkan kriteria 'infak' dengan menambahkan kalimat fi alsarra' wa aldharra' (waktu lapang dan sempit yang dalam bahasa petani disebut dengan musim panen dan peceklik atau dalam bahasa PNS disebut dengan bulan muda dan bulan tua) menunjukkan bahwa sifat ini harus mengkristal dalam diri yang bersangkutan. Oleh karena itu, kedermawanan yang bersifat temporer seperti gemar berinfak hanya pada saat menjelang pilkada tentu saja tidak termasuk ke dalam kriteria ayat di atas.

Selanjutnya disebutkan juga bahwa ciri khas orang yang taqwa ialah kemampuan mengendalikan sifat amarah. Sifat ini sangat cocok bagi seorang pemimpin agar tidak menggunakan wewenangnya semenamena. Imam al-Qurthubi menafsirkan kalimat ini (wa alkazhimin alghaizh) yaitu kemampuan mengendalikan diri dengan tidak menggunakan kekuasaan dan wewenang untuk menghancurkan lawan-lawannya. Kriteria lain yang tak kalah pentingnya adalah sifat pemaaf yaitu tidak melakukan tindakan balasan meskipun yang bersangkutan memiliki hak dan wewenang untuk melakukannya. Sifat maaf ini lebih tinggi dari adil dan karenanya pemimpin yang ideal tidak hanya sebatas mampu mewujudkan keadilan akan tetapi memiliki kemampuan untuk memaafkan.

Manusia adalah makhluk yang memiliki dua sifat yaitu salah dan lupa termasuk para pemimpin. Orang-orang yang taqwa adalah orang yang tidak pernah mengabadikan kedua sifat ini pada dirinya dan bahkan cepat mengambil sikap untuk tidak larut dalam kesalahan. Dengan demikian, seorang pemimpin yang taqwa tidak pernah merasa 'alergi' terhadap kritikan-kritikan dan bahkan kritikan-kritikan ini dijadikan sebagai alat untuk menuju kesempurnaan dirinya. Keempat karakteristik orang-orang yang taqwa sebagaimana digambarkan oleh al-Quran di atas tetap saja berlaku bagi segenap individu. Namun demikian, prasyarat ini dapat saja lebih ditekankan dalam hal memilih pemimpin karena mereka memiliki tanggung jawab plus dalam mengemban amanah umat. Dengan demikian, kriteria taqwa yang selalu ditempatkan pada urutan pertama tidak lagi hanya sebatas basa-basi dan tabarruk.

Penutup

Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa persyaratan taqwa dalam menjaring seorang pemimpin sah-sah saja dilakukan akan tetapi pemaknaan taqwa yang bersifat abstrak perlu dikaji ulang untuk menghindarkan penilaian yang bersifat subjektif. Pengkajian ulang dimaksud yaitu dengan memberikan kriteria yang riil supaya persyaratan taqwa yang selalu dicantumkan dalam pemilihan pemimpin tidak terkesan mencat langit sambil menghitung bintang-bintang.

Penulis adalah Dosen Fak. Tarbiyah IAIN SU dan Sekretaris el-Misyka Circle.

ketika abi berpetualang di negeri pusat khilafah ( istanbul) dan tanah haram ( mekah-madinah) 1.

Bandara Changi Singapore, bertemu tiga teman dari Indo. mereka mau berangkat ke durbin dan eropa timur.
terimakasih ya Allah... Allohu Akbar !!  tiba di mesjid sultan mehmed, istanbul, dekat selat bosporus.
bada shalat jumat di sultan mehmed, subhanalloh lantunan adzan dan khutbahnya begitu luarr biasa..
di dalam istana kholifah membelakangi selat bosporus...begitu indah yaa...

nanti akan dilanjutkan kembali yaa. dalam edisi keagungan islam dan kisah unik di negeri jiran.

Kamis, 16 September 2010

ketika abi bersama bob sadino

 beberapa waktu lalu dibulan ramadhan, abi mengikuti kuliah perdana dai preunership bersama om bob sadino. katanya dia mencap dirinya sebagai orang goblog. jadi saat itu abi belajar jadi pengusaha ke orang goblok. sedikitnya ada beberapa ahal yang bisa diambil pelajaran dari orang goblok ( bob sadino) yang disampaiakan.
1. orang goblog tak pernah sekolah sehingga dia tidak takut gagal. maka ajarkan anak anda untuk jangan takut gaal. tampilkan menjadi pemberani dan tidak takut mengambil resiko.
2. orang goblog tidak pernah punya perencanaan, maka saat melakukan sesuatu yang ada dipikirannya adalah action, karena perencanaan  jadi basi kalau tidak action, yang penting action dan action
3. orang goblog, itu banyak bekerja bukan banyak belajar, karena setiap dia bekerja dan melakukan sesuatu sebenarnya dia lagi belajar. maka ngapain sekolah ngabisin waktu, lebih baik to do///lakukan sesuatu
4. kalau gagal orang goblog tidak pernah kecewa, karena dia merasa sudah goblog, ya sudahlah dia akan mencari seribu cara untuk berhasil. berusaha dan berjuang terus...
5. hidup ini hanya sekali, maka orang gobloglah yang menyia-nyiakan hidup hanya untuk makan dan mecari kesenangan belaka. dia berpikir manfaatin waktu sebaik mungkin karena bisa jadi saat itu adalah saat terakhir dia hidup...takut mati broo..
6. tersenyumlah karena ke goblokan anda, langklah-langkah yang anda lakukan sudah petanda keberhasilan. maka tertawa sendiri dan memuji keberhasilan sendiri bagi orabng goblog adlah kebahagian..

kawan...anak kita adalah investasi jadikan diam " emas" dan setiap emas harganya mahal. jadikan dia bersifat layaknya dunia ini penuh dengan orang goblog yang mengerti makna hidup dan dunia..

Rabu, 15 September 2010

jadikan anak hebat

Mari rawat impian-impian hidup kita dan kita tularkan juga pada anak-anak kita. Teruslah pupuk dan sirami dengan pikiran-pikiran dan kebiasaan positif. Wujudkan dengan bekal kompetensi, ketekunan dan silaturahmi, sebab kesuksesan adalah pertemuan antara kompetensi dan kesempatan. Kesempatan banyak mendatangi orang yang senang bersilaturahmi. Tentu, semuanya harus disertai doa kepada Tuhan, Sang Maha Pemilik Jiwa dan Alam Semesta ini. Soal waktu, impianmu menjadi hidupmu.

Semuanya diawali oleh sebuah kebiasaan sama pada masa kecil, gandrung buku yang mendorongnya untuk punya impian-impian besar. Dulu mereka adalah anak-anak desa yang tidak mudah mengakses buku pada masanya, but if there is a will; there is a way, bukan? Kisah dua anak ini boleh jadi menjadi kisah siapa saja.


Impian menjadi anak hebat dan sholeh. supaya Impian keduanya lantas menjadi kenyataan, yang dimulai dari kekuatan pikiran atas impian-impian masa kecil. membaca karya Julius Verne dalam bukunya; "Around the World in 80 Days" yang menginspirasi impiannya.

Bagaimana dengan kita? anak-anak kita?

Punya impian adalah langkah kecil yang bisa berdampak besar pada perjalanan hidup kita dan mereka, anak-anak kita. Meski, kadang-kadang impian anak-anak bisa berubah-ubah setiap saat. Biarkan saja. Namun, memiliki impian adalah langkah kecil pertama untuk hidup yang lebih besar, Insya Allah. 

menjadikan anak pemimpin taqwa, pejuang syariah

Mendidik Anak Taat Syariah

i
Rate This
Quantcast

Oleh: Ummu Azkia
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah.
Sembilan Tips Mendidik Anak Taat Syariah
1. Tumbuhkan kecintaan pertama dan utama kepada Allah.
2. Ajak anak Anda mengidolakan pribadi Rasulullah.
3. Ajak anak Anda terbiasa menghapal, membaca, dan memahami al-Quran.
4. Tanamkan kebiasaan beramal untuk meraih surga dan kasih sayang Allah.
5. Siapkan reward (penghargaan) dan sanksi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya.
6. Yang terpenting, Anda menjadi teladan dalam beribadah dan beramal salih.
7. Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum usia balig.
8. Ramaikan rumah, mushola, dan masjid di lingkungan Anda dengan kajian Islam, dimana Anda dan anak Anda berperan aktif.
9. Ajarkan anak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan dakwah Islam.

Biar anak jadi cerdas

What Do You Think ?

Ini imel dari seorang ibu yang sangat concern terhadap pendidikan anaknya, dan hasilnya? Luar biasa....! Coba umat Islam melakukan hal yang sama, pastilah calon-calon khalifah akan banyak bermunculan di muka bumi ini. Aku jadi iri, dan gemes, serta geregetan gak sabar ingin menerapkan hal yang sama. Sehingga nanti akan muncul lagi generasi2 seperti Imam Syafii yang umur 7 tahun sudah hafal Al Qur'an, Imam Ibnu Katsir, Imam Bukhori, dan banyak ulama2 lain yang tidak banyak informasi tentang bagaimana cara ibu mereka mendidik anaknya sehingga menjadi ulama yang namanya dikenang hingga akhir zaman.
Ok, let's check it out :

Dear Parents,

Menyinggung tentang Multiple Intelligence dalam makalahnya. Saya ingin berbagi pengalaman saya dalam menerapkan secara langsung Kecerdasan Majemuk pada kedua anak saya.

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan kedua anak saya, Timothy (9 th) dan Jeremy (3 th). Timothy akan memasuki Center for the Highly Gifted semester depan. Sebelumnya ia mengikuti beberapa kali tes baik secara individu maupun secara kelompok yang dimulai tahun lalu. Saya senang sekali Timothy bisa diterima di sekolah khusus itu, karena selain seleksinya sangat ketat, ia bisa melewati berbagai tes dengan sangat baik. Bayangkan, tes pertama dilakukan pada saat kami baru 2 bulan pindah ke Amerika dari Jakarta. Dengan bekal bahasa Inggris logat Indonesia (ibunya) ia bisa masuk di top 10 % anak kelas 2 seluruh Amerika (tes bahasa dan matematika). Selain bakat akademis (bahasa, matematika, science) yang menonjol, Timothy juga mempunyai bakat piano dan tenis yang sangat bagus. Dia juga sangat mudah bergaul baik dengan teman sebaya, orang dewasa maupun anak kecil. Selaku orangtua, saya sangat tenang melihat kedewasaannya dalam berpikir, cinta belajar (tidak pernah berhenti bertanya dan menggabungkan berbagai hal yang ia pelajari), memiliki motivasi dan disiplin diri yang sangat kuat serta kehidupan spiritual yang solid.

Anak kedua, Jeremy, juga sudah menunjukkan berbagai bakat yang siap dipupuk. Dia cepat sekali menangkap berbagai pelajaran. Hanya dengan mendengarkan saya berdiskusi dengan abangnya tentang pr, dia bisa menangkap bahkan memikirkannya lebih jauh. Sebagai contoh, beberapa minggu lalu abangnya punya project tentang solar system. Timothy menerangkan pada saya tentang cara berputar planet termasuk bumi, apa yang terjadi ketika belahan bumi tertentu menghadap matahari. Kalau di Amerika siang, berarti di Indonesia malam, dst. Jeremy menyimak dengan baik. Saya surprise sekali ketika ia bermain sendiri, Jeremy mengambil mainan bola dunia dan bola sepak lalu mempraktekkan perputaran bumi mengelilingi matahari seperti yang diterangkan abangnya. Saya makin surprise ketika beberapa minggu kemudian dia mendengar saya menelpon neneknya di Indonesia, ia mengatakan “Mami bicara dengan Pinem (neneknya)? Lho, ini kan pagi di Amerika, berarti malam di Indonesia, seharusnya Pinem tidur sekarang!” Pada suatu hari ia sendirian menonton video tentang solar system, kemudian ia berlari mencari saya dan bertanya “Mami, katanya bumi berputar, tapi aku kok tidak merasakannya?” Anak 3 th sudah bergulat dengan teori gravitasi dan menguasai logika. Jeremy juga sudah menunjukkan kecerdasan spiritual yang bagus, malam hari dia berdoa “God, thank you for Jupiter the biggest planet, for the Earth where we live, for Uranus, Saturn, Pluto the smallest planet, dst”. Kecerdasan bahasa Jeremy sangat menonjol, dia dan abangnya bisa berpindah bahasa dari Inggris ke Indonesia bolak balik setiap kali bermain. Vocabularynya luar biasa, sangat haus membaca, minimal 2 jam sehari. Dia mulai bisa menulis dan membaca kata sejak berumur 2 th. Berhitung juga merupakan kegiatan favoritnya, sudah bisa berhitung sampai seratus, penambahan sampai 20, pengurangan sampai 10, sudah bisa membaca jam, hari. Memorinya kuat, sudah bisa mengingat 50 propinsi di Amerika berikut ibukotanya. Ditambah lagi sudah bisa menyusun puzzle ke 50 propinsi itu dan bisa menunjuk masing-masing state. Bakat bermain sepak bola terlihat sejak bayi (umur 6 bulan sudah bisa memainkan bola dengan kedua kaki sambil berbaring), demikian juga umur setahun dia sudah meniru abangnya memukul bola tenis dan bisa melewati net (jarak + 1m ). Bakat musiknya juga sudah muncul, ia sangat senang memainkan tuts piano, mencipta lagu, bahkan bisa mengingat melody musik klasik yang dimainkan abangnya. Secara sosial, ia mudah bergaul dan selalu mendahului memperkenalkan diri.



Saya percaya bahwa hasil yang sudah ditunjukkan oleh kedua anak saya adalah karena saya dengan sengaja mengembangkan Kecerdasan Majemuk mereka. Seperti yang dikatakan Ibu Julia, konsep Kecerdasan Majemuk sebenarnya sederhana saja. Namun demikian, dampaknya sangat luar biasa untuk menciptakan anak yang utuh.

Anak-anak kita akan menghabiskan waktu lebih dari 20 th di bangku sekolah, tentunya kita perlu menyiapkan balita kita agar memiliki skill akademik untuk menjamin sukses di sekolah. Kecerdasan berbahasa, Kecerdasan Matematika, Kecerdasan Ruang, Kecerdasan Alam adalah berbagai kecerdasan yang dibutuhkan di sekolah (Kalau saya tidak menyiapkan Timothy dengan bahasa Inggris dan matematika sebelumnya, pastilah dia tidak akan lolos tes). Selain itu anak perlu kecerdasan Sosial untuk bisa diterima teman-temannya di sekolah dan di tempat lain. Anak juga perlu Kecerdasan Intrapersonal ataupun pengembangan karakter agar bisa menjadi anak yang tekun, tidak mudah menyerah, disiplin. Tentunya skill tersebut sangat dibutuhkan tak hanya di sekolah, namun juga di pekerjaannya nanti. Kecerdasan Fisik akan sangat membantu anak untuk memiliki stamina tinggi dan membangun rasa percaya diri. Olah raga tidak hanya bagus untuk anak-anak tapi juga orang dewasa karena membantu pengeluaran hormone yang membuat kita merasa nyaman. Selanjutnya, Kecerdasan Musik mempunyai dampak sangat penting bagi otak anak seperti yang banyak dilaporkan oleh berbagai penelitian (meningkatkan kecerdasan matematika, spasial/ruang, membantu emosi anak, meningkatkan kreatifitas, dst. ). Saya banyak membaca hasil penelitian musik dan saya terapkan langsung pada anak saya, termasuk memperdengarkan musik klasik sejak dalam kandungan. Ternyata anak saya bisa membedakan lagunya ketika ia lahir. Gardner tidak memasukkan Kecerdasan Spiritual dalam konsepnya, namun saya merasa hal itu sangat penting untuk kehidupan seseorang termasuk anak. Anak-anak balita sudah memulai berpikir tentang konsep mati-hidup, keadilan, eksistensi, dari mana ia muncul, yang semuanya merupakan bagian dari kehidupan spiritual. Saya membaca bahwa Kecerdasan Spiritual mempunyai masa emasnya pada masa balita, kalau anak dibimbing dengan tepat kecerdasan itupun akan berkembang dengan optimal.

Kesembilan Kecerdasan tersebut saya terapkan pada anak saya sejak dini. Penerapannya pun sederhana. Beberapa kecerdasan bisa dilatih sekaligus hanya melalui satu permainan. Misalnya melalui permainan puzzle Dinosaurus, Jeremy melatih Kecerdasan Ruang (melalui puzzle); Kecerdasan Matematika (dengan menghitung jumlah dinosaurus yang ada dan kombinasi pengurangan: “kalau satu dinosaurus mati, ada berapa yang tinggal?”); Kecerdasan Alam dengan mendiskusikan lingkungan Dinosaurus, makanannya (herbivore, carnivore), cara reproduksi (beranak dengan bertelur); Kecerdasan Bahasa melalui diskusi-diskusi diatas dan belajar nama-nama Dinosaurus; Kecerdasan Musik dengan menirukan suara Dinosaurus lalu mencipta lagu Dino; Kecerdasan Fisik dengan menirukan cara jalan Dinosaurus dan peperangan untuk mendapatkan makanan; Kecerdasan Sosial dengan bermain tamu-tamuan ala Dino; Kecerdasan Intrapersonal dengan menyelesaikan potongan puzzle yang cukup banyak; Kecerdasan Spiritual, Jeremy belajar tentang “Tuhan Maha Besar” ketika ia tahu bahwa Pencipta Dinosaurus adalah Tuhan. Nampaknya cara itu lebih efektif daripada hanya melalui kata-kata.

Satu hal lagi yang sangat penting, di dalam berinteraksi dengan anak-anak, saya selalu berusaha menciptakan suasana FUN. If it is not fun, quit. Saya banyak belajar tentang cara kerja otak dan tahu bahwa tanpa kegembiraan, proses pembelajaran tidak akan efektif. Sebaliknya melalui permainan yang FUN, apapun bisa diajarkan dan saya menyaksikan pertumbuhan anak yang luar biasa. Fun juga berarti kegiatan yang dipilih anak. Saya membiarkan anak menjadi pemimpin, saya hanya mengikuti dan mendukung (scaffolding).
Semoga bermanfaat.
Have Fun Parenting!

Andyda Meliala
Penulis buku “Anak Ajaib. Temukan dan Kembangkan Keajaiban Anak Anda Melalui Kecerdasan Majemuk”

ketika tsamir dewasa

abi dan ummi..

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa menebarkan rahmah yang melampaui apa yang dibutuhkan hamba-Nya,
Apa kabar Ummi dan Abi? Semoga dalam keadaan sehat, selalu saling cinta dan bermanfaat bagi sesama. Muthia disini sehat, dalam keadaan baik dan sedang sibuk banget dengan urusan kampus. Alhamdulillah, praktikum sudah selesai dan sore ini Muthi kosong. Doakan Muthi selalu dalam amal saleh ya!
Jauh dari Umi dan Abi seperti ini, membuat muthi memiliki timbunan rasa kangen yang menggunung, Di bayangan Muthi, berkelebat segala renik masa lalu yang sekarang ini membuat Muthi selalu bisa tersenyum. Meski dengan masa itu, Muthi terkadang merasa tak nyaman dan merasa tertekan.
Ummi ingat, Muthi sering kali bete, karena Muthi selalu disangkut-pautkan dengan ”nama besar” Ummi dan Abi, setiap kali Muthi dipandang tak layak berperilaku sebagai anak ikhwah, Muthi akan cemberut dan menyesal mengapa Muthi keluar dari rahim Ummi. Bukankah Muthi tak pernah memilih dilahirkan siapa?
Ingatkah saat Muthi mogok sekolah waktu SD dulu? Guru Muthi akan bilang, masak sih anaknya Ustadz Fahri gampang ngambek? Apa hubungannya ngambeknya Muthi dengan Abi? Lalu ketika Muthi memilih memakai celana jeans dari pada rok panjang, amah yang lain akan bilang, Muthi, lihatlah Ummi Muthi, betapa anggunnya beliau dengan gamisnya, mengapa Muthi memilih memilih celana jeans ketat? Mengapa amah tak pernah bertanya betapa ribetnya Muthi kalau harus memakai rok, apalagi gamis, padahal Muthi hobi berlari dan suka memanjat pohon di belakang rumah? Belum lagi urusan kerudung, yang kekecilanlah, yang ga diikatlah, yang nggak berwarna noraklah, yang tak boleh tipislah. Muthi ingi seperti teman-teman Muthi yang lain, yang orang tuanya bukan ikhwah, mereka lebih bebas mengekspresikan dirinya.
Ummi dan Abi sayang, ingatkah Ummi waktu guru Bahasa Indonesia Muthi kala SMP menangis saat membaca puisi yang Muthi tulis? Muthi sudah mulai lupa redaksinya, yang jelas, puisi itu tentang Ummi…
Secawan Tambatan Kasih, untuk Bunda Tercinta
“Ketika matahari pagi menyapa kulitku, lembut, tahukah kau, betapa sesungguhnya, aku sangat ingin membagikan kehangatan untukmu, Bunda…
Agar kau tahu, di setiap yang menghasrati raguku, engkaulah yang mengisinya dengan nyawa doamu
Maka, tapak kakiku adalah cinta yang menuntunku untuk sampai ke jalanmu
Maka indra ragawiku adalah dian pelita yang mengikatku pada harapmu
Maka, setiap nafasku telah tertebat dalam rengkuhmu,
Maka, keelokanku adalah darah yang kau bersihkan dari nyeri dan pilu yang menderamu…
Engkau adalah cinta tak bertepi, saat kupejamkan mata, maka ia adalah benteng naungan yang melindungku dari kesatnya kehampaan,
Engkau adalah ruh yang terus hidup, saat mataku terbuka, maka lautan senyawanya menarikku dalam geraknya…
Engkau adalah kata tak terucap, tatapanmu adalah titah yang menyulut bara apinya,
Engkau adalah samudra tak terbatas, yang melibas setiap kekhilafanku menjadi kealiman tak bernanah dan berbau, redam oleh tangkalannya,
Maka Bunda, biarkan aku menuang madu berzaitun dalam bejana kalbumu, dan selaksa tasbih mengiringi dalam setiap peluknya,
Relakan diri untuk guyuran sutra berteratai yang mewadahi embunnya, agar tak ada lagi didih hati milikmu yang yang memberang karena fitnahku,
Karena Bunda, biarkan engkau menjadi harta tak ternilaiku, yang mengecupku saat bangunku, yang menyelimutiku saat tidurku, yang membarengiku dalam jagaku, yang memautku dalam resahku,
Karena aku hanya punya engkau, tak ada yang lain, dalam hidupku, dalam cintaku…”
Ummi ingat, Bu Firda, Guru Muthi itu, menangis saat membaca puisi itu dan bercerita ke Bu Bustani, Wali Kelas Muthi, “Bu, benar ya Muthi, anak sepintar dia (ehm…ehm.. .Muthi nggak GR lho Ummi), sudah tak punya ayah? Saya mau mengangkatnya jadi anak. Lalu bagaimana kesehariannya?”
Bu Bustani kaget, “Lho ibu tahu dari mana?”
Bu Firda menunjukkan puisi Muthi. Bu Bustani tersenyum. “Muthi masih punya ayah, Bu. Munkin ini ungkapan hatinya tentang kedekatan dengan Umminya dan ia menganggap ayahnya berjarak, karena kesibukannya.”
Maafkan Muthi ya, Abi. Muthi waktu itu, memang merasa tak dekat dengan Abi. Abi sibuk, selalu serius, tak pernah mengajak Muthi bercanda, meski Abi ga galak juga sebenarnya. Abi ingat kan waktu Muthi SMU dan Muthi ikut ekskul pecinta alam? Muthi ingin banget mendaki gunung. Muthi lihat foto Ummi waktu SMA, bahkan Ummi belum memakai kerudung waktu Ummi ada di Puncak Garuda di Gunung Merapi. Abi marah besar waktu itu, mengancam Muthi tak diberi uang saku. Ada apa sih Bi? Bukankah tak ada yang salah dengan pecinta alam? Mengapa Ummi boleh sama Eyang waktu itu? “Umm naik gunung dengan Pakde Muth!” itu penjelasanya. Tapi itu tidak memuaskan Muthi.
Itu yang sering kali membuat Muthi bingung. Kita dididik dalam suasana serba seragam. Sejak kecil sekolah Muthi sekolah IT. Teman-teman Muthi adalah anak-anak teman-teman Abi dan Ummi. Guru-guru juga punya pengharapan besar bahwa kami akan lebih mudah dididik dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Mereka tak salah, tapi, realitasnya tidak begitu. Justru, anak-anak itu adalah anak-anak paling heboh di kelas, naik ke atas meja, belajar sambil jalan-jalan, suka memprotes. Sementara anak-anak lain, lebih santun kepada guru. Karena mereka benar-benar guru, bukan ‘teman Ummi dan Abi”
Muthi ingat, saat Muthi ditanya, apa cita-cita Muthi nanti oleh Bu Guru, di dalan hati, Muthi bilang, asal tak seperti Ummi dan Abi. Muthi tak ingin kesibukan Muthi menelantarkan anak-anak Muthi. Muthi juga tak mau beranak banyak. Rasanya repot sekali. Sebagai anak pertama Muthi sering kali merasa terganggu dengan tingkah mereka. Membuat tugas sekolah Muthi sampai sobek dan Muthi harus mengulanginya sambil mengomel dan menangis. Mengotori kamar Muthi dengan sampah berserakan dan Muthi juga harus membereskannya. Mengantar mereka ke kamar mandi dan membersihkan najisnya kala Ummi dan Abi pergi. Harus rela berbagi kue. Ah, bahkan waktu itu, Muthi sempat berpikir untuk tak usah menikah, agar Muthi bisa bebas berkarier dan menjadi diri Muthi sendiri, tanpa harus direpotkan oleh orang lain.
Semakin besar, Muthi semakin tahu, betapa sesungguhnya kesibukan Ummi dan Abi adalah kesibukan dakwah yang mencerahkan peradaban. Tetapi, kami anak-anak Ummi dan Abi, adalah objek dakwah yang membutuhkan pencerahan itu juga. Sayangnya, target-atrget pribadi Ummi dan Abi miliki, terkadang tidak menyertakan kami dalam prioritasnya. Itu yang sering membuat Muthi sedih. Maaf lho, tidak selalu begitu, tapi ini beberapa ceritanya :
Abi-Ummi ingat kan dengan Fardan, anak Ami Baskoro? Kami sama-sama di SMPIT waktu itu. Selepas SMA kami berpisah. Fardan dimasukkan di SMA Negeri yang memungkinkannya masuk dengan nilainya. Sayangnya ia seperti burung yang terbebas dari sangkarnya. Lingkungan telah menyeretnya tanpa ia bisa menggigit akar pohon kepribadiannya. Muthi terperanjat ketika Muthi tahu, tak berapa lama, Fardan berpacaran, membawa pacarnya ke rumah, berboncengan motor tanpa rasa risi, tak malu lagi ketika ditegur. Ia bilang ke Umminya, “Mengapa sih Ummi ini tidak menjadi ibu-ibu kebanyakan, yang tidak kolot dan memahami dunia anak muda?” Apa yang mesti dikatakan Umminya? Bukankah sudah ada cerita, yang hamil diluar nikah?
Belum lagi anak-anak yang lain, yang kenakalannya masih bisa dilihat mata, merokok, membolos, narkoba. Ya Allah, bukankah orang tua mereka adalah orang-orang yang berada di garda terdepan yang berusaha membaktikan seluruh dirinya untuk kebaikan? Betapa kagetnya mereka, melihat putra kebanggaannya sakau karena obat jahanam itu?
Ummi-Abi ingat juga kan Fiddin, putri Ami Yudistira? Baru saja ia mundur dari kampus. Ia tak berniat lagi meneruskan kuliahnya. Ia bilang ingin pindah ke kampus lain. Padahal kan tak sembarang anak bisa masuk di PTN ini? Dulu, sewaktu Ami Yudis menelepon Muthi dan menitipkan Fiddin agar Fiddin masih bisa meneruskan tarbiyahnya, di kampus ini, Muthi menyanggupinya dengan senang hati. Menolong mereka ibarat menolong dakwah dan memperingan beban. Tetapi ummi, tahukah Ummi, betapa sulitnya? Setiap janjian, Fiddin selalu mengelak, ia bilang ada di perpustakaan, Muthi cari di sana. Sebentar kemudian ia bilang sudah ada di Kopma, selalu begitu, yang mendadak ketemu dosen, ada kuliah tambahan, ada tugas yang harus segera selesai. Muthi datangi kosnya, tak pernah ketemu juga. Sekalinya ketemu ia bilang mau datang, ditunggu tak datang juga. Sudah sesemester ia tak datang halaqoh. Tiba-tiba ia SMS mau mengundurkan diri dari kampus. Pasalnya? Ternyata ia terlambat registrasi, dimarahi oleh BAAK dan dosennya. Ia bete, tak mau mengurusnya dengan lebih sungguh-sungguh. Masya Allah, Ummi mengapa anak ikhwah tak tertulari kadar perjuangan jiddiyah yang dimiliki oleh orang tuannya? Mengapa mereka gampang menyerah?
Baru saja di kampus Muthi diadakan PEMIRA (Pemilu Raya Mahasiswa), untuk memilih presiden BEM Universitas. Yang menang sih teman Muthi juga, Azzam Al-Munadi, meski suara partai kami menurun dibanding tahun kemarin. Menarinya Ummi, ada salah seorang putra ustadz yang berseberangan dengan partai kita. Ia bilang, ia sudah tahu luar dalamnya kita, ia adalah putra pendiri dakwah, ia tak ingin berada bersama kita, ia ingin berbeda dengan ayahnya. Ia berada bersama teman-teman yang memperjuangkan ideologi nasionalis sebagai dasar pergerakannya. Muthi tak tahu, semoga saja sholat wajibnya masih terjaga. Bukankah banyak di antara mereka yang merokok di siang hari saat bulan Ramadhan?
Ummi dan Abi, Muthi bersyukur punya kalian. Muthi selalu lihat Ummi dan Abi saling bertatapan. Muthi tahu, kalian sedang bertukar kasih. Muthi juga tahu, Ummi tak membantah kata-kata Abi di depan kami, anak-anak Ummi. Ummi selalu diam saat Abi sedang cemberut. Begitu juga Abi saat Ummi marah, Abi mengirimi Ummi SMS mesra permintaan maaf. Muthi sempat membacanya tanpa sepengetahuan Ummi dan Muthi ikut tersipu. Ummi pula yang setiap Abi datang kelelahan di malah hari, merelakan meletakkan rasa lelahnya juga agar berkhidmat untuk Abi. Muthi melihat itu.
Muthi ingat saat Tsuraya, teman SMP Muthi mengerut ketakutan di belakang lemari, saat ia melihat Abinya memarahi ibunya. Gara-gara Ummi Tsuraya melihat foto mahasiswa Abinya yang disimpan di buku agenda dan menjadi back screen laptop pribadinya. Firasat ibunya mengatakan, hubungan antar mereka bukan lagi hubungan Dosen dan Mahasiswi yang saling bersinergi karena ikatan prestasi, tetapi lebih jauh dari itu. Meski Abinya bilang, ia membiayai mahasiswanya dan menjadikannya sebagai anak angkat karena anak itu cerdas dan tidak mampu. Tetapi Ummi Tsuraya tidak bisa dibohongi. Hubungan telepon Abinya sudah menjadi penanda. Tsuraya berontak, ia lari dari rumah. Ia ingin Abinya tak marah-marah tiap hari. Ia ingin Umminya berani dan tidak diam saja. Ia ingin Umminya melaporkan Abinya ke Rektorat agar Abinya mendapat sanksi. Tetapi Umminya tak mau lakukan itu. Ia rela berkorban kebahagiaan dirinya untuk kesenangan Abinya. Kami sekelas yang kerepotan saat harus mencari Tsuraya ke sana kemari. Alhamduillah, kasus itu akhirnya berhenti. Tapi Tsuraya terlanjur terluka.
Muthi juga ingat dengan teman main Muthi sedari kecil, Rijal, bekali-kali ia merepotkan orang tuanya untuk datang ke sekolahnya karena ia asyik main di Game Online sampai berhari-hari, bahkan tidur pun cuma sesaat di sana dan ia lupa ia punya kewajiban sekolah. Ia sudah kecanduan. Orang tuanya perlu mengajaknya ke ahli untuk diterapi.
Ummi dan Abi, ini Cuma sekedar potret, Muthi yakin ibarat pantai di tepi laut, butiran pasir yang membukit jauh lebih banyak jumlahnya dibanding sampah yang berserakan. Orang tak boleh bilang pantai itu melulu berisi sampah, karena ia lebih banyak mengandung pasir yang bersih dibanding kotorannya. Tetapi orang suka memotret perkeculiannya. Padahal jumlah anak yang saleh dari ikhwah yang iltizam, jauh lebih banyak, tetapi mereka tak terekspos.
Baru saja Muthi membaca buku Sepuluh Bintang Penghafal Al-Qur’an, diceritakan disitu bagaimana Bu Wiwik dan Pak Tamim, membuktikan bahwa kesibukan mereka di jalan dakwah, bertugas dari pulau ke pulau, menunaikan amanah, mengetuai wajihah ‘Salimah’ se-indonesia dan ‘Aliansi Selamatkan Anak Indonesia’, tak menghalanginya untuk mendidik putra-putri mereka agar mereka bisa mewarisi dakwah dan memperbaikinya jauh lebih baik dari orang tuanya.
Bu Ledia Hanifa juga baru saja bercerita. Ia mengirim putranya bersama beberapa temanya ke Palestina, lewat Al-Arish, melalui lorong-lorong tikus karena tak diizinkan masuk lewat jalan resmi, mereka bisa menghirup napas jihad karena mereka mendengar berondongan peluru sesekali dan membawa semangat itu ke negeri tercinta. Mereka anak-anak ikhwah.
Ummi juga masih ingat kan cerita tentang Afifah Cholid? Gurunya bilang, ia anak berkepribadian lengkap, cerdas otaknya, beberapa kali menang Olimpiade Sains, tertata emosinya, santun, Sederhana, mudah berkorban bagi temannya. Lihatlah ketika ia tertinggal sholat berjamaah, jika melihat teman di sampingnya tak bersajadah, maka ia bentangkan sajadahnya untuknya, dan ia sendiri tak mengapa tak bersajadah. Ia suka menolong, tak pelit membagi ilmu, lulusan terbaik di kabupaten, sampai sekarang ia masih rajin mengaji. Abinya menjadi Murobbi baginya. Semoga ia istiqomah sampai ke depannya.
Ummi–Abi juga masih ingat Faros kan, teman TK Muthia? Ia memilih masuk ke pesantren tanpa paksaan dari oramh tuanya, agar ia bisa menjadi Ustadz seperti Pakdenya dan meneruskan mengurus pesantren milik Simbah Kakungnya.
Kita juga pernah mengenal Hizbullah kan Mi? Waktu kecilnya kita memanggilnya Ibung, putra Bu Nung Azizah dan Pak Yazi, ia melanglang buana, ke Beijing, ke Singapura dan beberapa tempat lainnya, sejak ia SMA, karena hasil kerja kerasnya. Ia menang berkali-kali di Olimpiade Fisika. Sekarang ia kuliah dengan beasiswa di Institut paling bergensi di negara ini. Ntuk menjadi seperti itu, ia tak pernah mengorbankan masa remajanya untuk memberontak,
Ummi juga ingat Ilham kan? Putra Ami Saleh yang sudah lebih dahulu menghadap Allah. Saat Umminya divonis kanker rahim, Ilham mengorbankan banyak hal dari dirinya agar ia bisa berkhidmat untuk bndanya. Ia rela tak kuliah, tak beraktifitas.
Muthi dan teman-teman menangis saat menengok bundanya. Dokter menyerah, bundanya pun dipulanglan ke rumah, tak lagi dirawat di rumah sakit. Iham benar-benar berbakti di saat-saat terakhir bundanya. Ia tak segan menggantikan baju ibunya, menyapinya, mengelap keringatnya, membasuh luka di punggungnya karena ibunya laba terbaring di pembaringan, membelai tubuh ibunya, mengaj di sampingnya. Sementara kakak perempuannya mengerjakan banyak hal yang lain, mencuci, memasak, memersiapkan kebutuhan sehari-harinya.
Ia juga menjadi wali bagi kakaknya saat sang kakak menikah karena Umminya menghendaki sang kakak segera menikah, di depan pembaringan Umminya, sebulan sebelum Umminya meninggal. Meski keluarga besarnya memarahinya, mengapa menikah di saat Umminya masih sakit, seperti orang yang tak tahu membedakan mana kebahagiaan mana kesedihan. Tapi Ilham tak pedulikan itu, ia dahulukan ridha sang Ibu.
Ilham bukan anak sembarangan Ummi, ia ketua wajihah dakwah di kampus, ia juga aktif di unit kampus. Ia lembut tapi tegas, tak pernah membentak-bentak akhwat. Saat ibunya meninggal, Ilham sedang syuro karena Umminya mengizinkan dan memaksa Ilham memenuhi amanahnya. Tak melulu bersama Umminya. Dan Ilham anak Ikhwah….(Ummi jangan berpikir Muthi naksir lho ya, harapan Muthi sih, Muthi nanti menikah di jalan dakwah, sama seperti Ummi dan Abi. Apa Ummi sudah ada calon untuk Muthi? Nanti ya, dua atau tiga tahun lagi ya, sekarang Muthi sedang sibuk banget jadi ADK, Aktifis Dakwah Kampus, he…he…he. ..)
Muthi yakin Ummi, masih banyak anak ikhwah yang jauh lebih baik. Bila saat ini mereka masih sibuk berlarian, sesungguhnya mereka sudah tau jalan kembali. Sama seperti Muthi, Ummi. Ummi dan Abi bagaikan magnet bagi Muthi, doa robithah Ummi menjaga Muthi, shalat malam Ummi menaungi Muthi, dakwah Abi dan Ummi ke orang lain terpancar sampai ke hati Muthi.
Maafkan Muthi bila Muthi dulu sempat berontak, alhamdulillah, keputusan Ummi untuk menjadikan Muthi teman sejati, mendengarkan Muthi cerita, tak memotong begitu saja kejahiliahan Muthi, mengajari Muthi mandiri dan memberi Muthi kepercayaan, membuat Muthi terjaga dan terpeluk hidayah. Muthi sudah melewati masa kritis itu, semoga adik-adik juga begitu. Muthi yakin Ummi dan Abi jauh lebih berpengalaman menghadapi hal ini.
Ummi-Abi, Muthi mau bersiap-siap mengisi liqo’ untuk adik-adik binaan Muthi, besok pagi usai subuh. Jadwal kuliah yang padat memaksa kita mesti pintar menyiasati waktu. Doakan Muthi ya. Muthi ingin keluarga kita dibariskan dalam barisan dakwah dalam jamah kebenaran. Muthi ingin, sampai kapanpun, kita saling mewarisi sampai anak cucu kita…
Diambil dari buku “Tarbiyah Madal Hayah, Chicken Soup For Tarbiyah – 100 buku pengokoh tarbiyah”

Jadilah Pejuang...

Tsamir Khalifa Muttaqien, begitulah saya berikan nama untuk anak pertama yang lahir pada 3 mei 2010.
sebuah nama yang syarat akan doa dan harapan bahwa kelak dia akan menjadi pemimpin bagi orang taqwa.
begitu dalam nama itu kami haturkan ya Robb, aku dan istriku sempat berdiskusi panjang maslah nama anak kami nanti...ke ikhlasan, perjuangan, pemimpin, ketaqwaan dan harapan adalah lilin yang ingin kami capai.
akhirnya...Allah berikan ilham, dari delapan nama ; terpilihlah sebuah nama : Tsamir Khalifa Muttaqien
Tsamir = buah
Khalifa = Pemimpin/ Imam / Amirul Mu'minin
Muttaqien = orang Taqwa/ orang yang sangat takut terhdap Tuhan

 3 Mei 2010, tepat jam 2.49 dini hari, sujud syukurku aku panjatkan...
Ya Illahi Robbi....
rahmat dan kasih sayangMu begitu Agung
kini anaku telah lahir..
sehat dan selamat...

sebuah permata hati..
bayi lelaki yang mungil nan indah
mata berbinar
jiwa dan badan yang suci
bersyukur kami...

Anaku...
engkau adalah untaian doa abi..
jeritan hati ummi
dengan ikhlas kunamai engkau
" Tsamir Khalifa Muttaqien"

jadilah engkau pejuang
garda depan penerapan islam
penegakan khilafah
tercapainya rahmatan lil alamin
amii...

Abi Tsamir dan Ummi Farihah